

Dikutip dari buku biografi Steve Jobs karya Walter Isaacson, Steve Jobs tumbuh mencolok dibandingkan anak-anak lain sepantarannya, Rasa ingin tahu dan kemampuan eksperimennya sudah terlihat sejak ia duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar, tak heran akhirnya para guru dan sekolah memutuskan bahwa Steve perlu dinaikan satu kelas lebih cepat masuk ke kelas 6 tanpa harus mengikuti kelas 5 dahulu.
Berikut Kisah tentang kehidupan spiritual Steve Jobs, Meskipun mereka tidak memiliki agama yang kuat, orang tua Jobs menginginkan dirinya dibesarkan dalam lingkungan beragama. Jadi, mereka mengajaknya ke gereja Lutheran hampir setiap hari Minggu. Kebiasaan itu berakhir ketika dia berusia tiga belas tahun. Keluarganya berlangganan majalah hiburan Life, dan pada Juli 1968 majalah tersebut menerbitkan sampul mengejutkan yang menunjukan sepasang anak kelaparan di Biafra, Nigeria. Jobs membawa majalah itu ke sekolah minggu dan berbicara pada pastor gereja. “Kalau aku mengacungkan jari, apakah Tuhan tahu jari mana yang akan aku acungkan, bahkan sebelum aku melakukannya?”

Sang pastor menjawab, “Ya, Tuhan tahu segalanya.”
Kemudian Jobs mengeluarkan majalah life dan bertanya “ Apakah Tuhan tahu soal ini dan apa yang akan terjadi dengan anak-anak ini?”
“Steve, aku tahu kau tidak mengerti, tetapi, ya Tuhan tahu soal itu”
Jobs lalu mengumumkan bahwa dia tidak mau lagi menyembah Tuhan seperti itu, dan dia tidak pernah kembali lagi ke gereja. Tetapi dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari dan berusaha mempraktikkan ajaran Zen Buddha.

Beberapa tahun kemudian, ketika sedang memikirkan sisi spiritualnya, Jobs mengatakan bahwa dia menganggap agama yang terbaik adalah agama yang menekankan pada pengalaman spiritual, bukan menerima dogma”. “Inti dari ajaran Kristen hilang ketika agama tersebut terlalu didasarkan pada keyakinan, bukan pada cara hidup seperti Yesus, atau memandang dunia seperti cara Yesus memandangnya” katanya. “Menurutku, berbagai agama yang berbeda merupakan pintu yang berbeda untuk menuju ke rumah yang sama. Terkadang menurutku rumah itu ada, dan terkadang rumah itu tidak ada. Itulah misteri terbesarnya”.
Bagaimana Steve Jobs Menemukan Ajaran Buddha
BY BRENT SCHLENDER DAN RICK TETZELI | 3 Nov 2015

Ajaran Buddha memiliki pengaruh yang signifikan pada Steve Jobs. Brent Schlender dan Rick Tetzeli menjelaskan bahwa pada tahun 1974, Steve Jobs melakukan perjalanan ke India karena tepicu minatnya terhadap ajaran Buddha yang mana telah dia terapkan selama sisa hidupnya. Dari buku mereka, “Becoming Steve Jobs.”
Beginilah kisah pencariannya :
Pada Awalnya, Steve Jobs pergi ke India dengan harapan untuk bertemu Neem Karoli Baba (seorang guru Hindu yang Ahli), dikenal sebagai Maharaj-ji, guru terkenal yang menjadi inspirasi bagi teman-temannya Larry Brilliant dan Robert Friedland, serta pencari spiritual lainnya. Tapi Maharaj-ji meninggal tak lama sebelum kedatangan Steve dan timbul kekecewaan baginya. Waktu pencarian spiritual Steve di India pun menjadi buyar dan tidak fokus , dengan perumpamaan : banyak pemuda yang mencari Guru masa depan yang cemerlang tetapi pemuda tersebut malah diserahkan kepada anak kecil saja.
Kemudian dia pergi ke sebuah acara keagamaan yang dihadiri oleh sepuluh juta peziarah lainnya. Dia memakai jubah katun, makan makanan yang aneh, dan dicukur rambutnya oleh guru misterius. Dia mengalami disentri (sakit perut).

Untuk pertama kalinya, ia membaca buku *Yogananda Autobiography of a Yogi*, yang kemudian buku tersebut diberikan kepada semua orang yang menghadiri acara peringatan mengenang meninggalnya Steve Jobs di Memorial Church Stanford University pada tanggal 16 Oktober 2011.
Pada awal ia tinggal disini, menurut Briliant(temannya), “Steve telah menggoda /bercanda dengan ide, dia ingin menjadi *sadhu*.” Kebanyakan kaum *Sadhu* di India dikenal sebagai pertapa dan berfokus pada kekosongan sebagai landasan spiritual. Tapi Steve jelas terlalu lapar, terlalu didorong, dan terlalu ambisius untuk jenis kehidupan spiritual. “Itu romantis,” kata Briliant, “dengan ide seorang sadhu yang menolak keduniawian.” Tapi itu tidak berarti ia balik ke Amerika Serikat tanpa membawa hasil, ataupun bahwa ia berhenti mencari spiritualisme Timur sama sekali.
Kaum *Sadhu* : kelompok pertapa Hindu yang dianggap suci dan memiliki pengetahuan tertinggi tentang Tuhan, Perawakan mereka bermacam-macam diantaranya : berambut kusut, tubuh tertutup abu, lilitan ular menghiasi dirinya, telanjang dan memakai kulit gajah di pinggang dan berusaha hidup layaknya Dewa Shiva

Kemudian ketertarikannya berpindah ke ajaran Buddha, yang memungkinkan dia untuk lebih terlibat dengan dunia ini daripada cara hidup sebagai pertapa Hindu. Ini akan memungkinkan dia untuk memadukan antara pencarian pencerahan spiritual dengan ambisinya menciptakan perusahaan dengan produk yang mampu mengubah dunia. Ajaran Buddha menarik bagi seorang pemuda yang sibuk berusaha untuk dapat menemukan jati dirinya, dan itu juga akan menarik bagi seorang pria dewasa yang intellektual(pintar) dalam mengatasi berbagai masalah kegelisahan dan keruwetan pikiran yang tak terbatas. Unsur-unsur tertentu dari Ajaran Buddha sangat cocok dan baik sehingga memberikan dasar filosofis dalam memilih dan menjalankan karir serta sebagai dasar harapan *Estetika* baginya
*Estetika* : Ilmu tentang seni, filsafat, dan alam
Selain itu juga, Ajaran Buddha terus menerus membuatnya merasa untuk tidak terlalu menuntut agar orang lain, produk yang ditemukan, dan bahkan dirinya menjadi terlalu “sempurna” seperti yang dia anggap selama ini
Dalam filsafat Buddha, kehidupan sering dibandingkan dengan sungai yang selalu berubah. Ada perasaan bahwa segala sesuatu, dan setiap individu, adalah tak henti-hentinya dalam proses perubahan. Dalam pandangan dunia ini, mencapai kesempurnaan juga merupakan proses yang berkesinambungan/ bertahap, dan tujuan yang tidak pernah dapat sepenuhnya tercapai. Itu visi akan datang yang ingin dia capai dengan tidak mudah.
Melihat ke depan untuk produk yang belum dibuat, untuk apa pun yang akan terjadi di sekelilingnya , dan dua atau tiga ide setelah itu, datang mengalir secara alami kepadanya. Dia tidak akan pernah membatasi untuk setiap kemungkinan(peluang), sebagai penyelesaian yang sempurna di mana karyanya akan dilakukan. Dan sementara Steve akan menghindari hampir semua analisanya yang sama, meskipun fakta bahwa ia bisa menjadi keras kepala mempertahankan pendapatnya dan mempunyai dogma yang benar, namun dia terus-menerus beradaptasi mengikuti hidungnya, belajar, dan mencoba arah yang baru. Dia terus-menerus bertindak dengan beradaptasi sesuai proses perubahan.

Tak satu pun dari ini yang mudah terlihat oleh dunia luar, ajaran Buddha yang dipelajari Steve bisa membingungkan teman-teman dan bahkan rekan terdekatnya. “Selalu ada sisi spiritual ini,” kata Mike Slade, seorang eksekutif pemasaran yang bekerja dengan Steve dalam karirnya, “yang benar-benar tampaknya tidak cocok bagi orang lain , telah dia lakukan.” Dia bermeditasi secara teratur sampai dia dan Laurene (istrinya) menjadi orang tua, waktu terus membuat mereka tumbuh(usia bertambah) tanpa mereka sadari.
Dia membaca ulang buku Suzuki Zen’s Mind, Beginner’s Mind beberapa kali. Dan dalam percakapan Steve Jobs dengan Brilliant(temannya), Steve selalu memadukan antara ajaran spiritual Asia dengan bisnis maupun kehidupan komersialnya sebagai topik umum sehari-hari yang dinikmati sepanjang hidupnya. Selama bertahun-tahun, ia mengadakan pertemuan dengan Bhiksu Buddha yang bernama Kobun Chino Otogawa seminggu sekali di kantornya untuk memberikan konseling (nasehat, saran atau arahan) tentang bagaimana menyeimbangkan antara spiritual dengan target bisnisnya.
*Suzuki Zen’s Mind, Beginner’s Mind* : judul buku Ajaran Buddha aliran Zen yang lebih berfokus kepada konsentrasi batin/samadhi

Selama bertahun-tahun, tidak ada seorangpun yang tahu dan mengenal Steve Jobs, bahwasannya dia adalah umat Buddha yang sangat taat/disiplin, dan kedisiplinan spiritualnya itu telah membuat hidupnya menjadi bijak dan bermakna.

- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid
Komentar Anda